Tugas 3 (T3): Memilah bagian berita
Tugas 3
NPM: 210104200065
Nama: Ali Rozi Afif
Semester: Satu
Kelas: C
Mata Kuliah: Dasar Penulisan Multimedia
Keterangan:
- : Lead
- : Bridge
- : Body
- : Leg
Berita ke-1
Nama media: Medcom.id
Judul berita: Kebaran Gedung Kejagung Diminta Jadi Pembelajaran
Jumlah halaman: Satu
Tanggal cetak: Sabtu, 24 Oktober 2020 16:37
Jakarta – Kepolisian menyimpulan penyebab kebakaran Gedung Utara Kejaksaan Agung (Kejagung) karena kelalaian, Tak ditemukan motif lain dalam insiden tersebut.
Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir meminta semua pihak belajar dari hal tersebut. Pengelola Gedung dan jajrannya harus maksimal menjalankan standar dan prosedur dalam bekerja.
“Siapa menyangka cuma gara-gara kelalaian
saja, sehingga punting rokok dapat melalap habis gedung Kejagung yang sangat
besar,” kata Adies salam keterangan tertulisnya, Sabtu, 24 Oktober 2020.
Adies menyebut delapan tersangka telah
ditetapkan atas kelalaian itu. Penyidik sedang melengkapi berkas perkara mereka
untuk dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU).
Menurut dia, kepolisian tak boleh berhenti
di delapan tersangka itu. Kelalaian harus diusut sampai ke tingkat atas.
“Tidak bisa hanya bawahan, karena semua
yang terkait dan yang mempunyai tanggung jawab, haruus merasakan hukuman,” ujar
Adies.
Di sisi lain, dia meminta kebakaran Gedung
Kejagung juga menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Khususnya dalam pengelolaan
anggaran untuk membangun fasilitas negara.
“Agar betul-betul cermat dan teliti dalam
mengelola anggaran dan memilih semua material kebutuhan di instansinya
masing-masing,” kata dia.
Sebanyak delapan tersangka yakni Direktur
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kejagung NH, dan Direktur PT ARM, R. Selamjutnya
lima tersangka dari unsur pekerja proyek T, H, S, K, IS, dan mandor UAN.
Para tersangka dikenakan Pasal 188 KUHP,
Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukumannya 5 tahun penjara.
Berita ke-2
Nama media: Antara
Judul berita: OJK: Digitalisasi Sektor Keuangan Jadi Keniscayaan saat New Normal
Jumlah halaman: Dua
Tanggal cetak: Rabu, 14 Oktober 2020 08:15
Jakarta – Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat menilai saat ini digitalisasi pada sector keuangan, khususnya perbankan, bukan lagi menjadi pilihan namun telah menjadi keniscayaan. Hal itu penting dalam menghadapi era kenormalam baru atau new normal.
“Setiap bank perlu mengantisipasi
akselerasi perubahan perilaku dan kebutuhan nasabah. Dengan kondisi pandemic
covid-19 yang belum dipastikan kapan berakhirnya, masyarakat nasabah akan lebih
sadar, kritis, dan menurut layanan keuangan yang lebih cepat, praktis, namun
tetap aman,” ujar Teguh.
Teguh menuturkan adanya pandemic covid-19 yang terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk melakukan aktivitasnya dengan menggunakan teknologi digital. Mulai dari pemenuhan kebutuham sehari-hari, alat komunikasi, sistem pembayaran, sarana pendukung belajar, sampai dengan bekerja dilakukan teknologi.
“Baik dari sisi pelaku usaha maupun
konsumen, timbul ketergantungan dengan usaha maupun konsumen, timbul
ketergantungan dengan menggunakan platform digital.
Ketergantungan ini menyebabkan terjadinya perubahan layanan
dari berbasis konvemsiomal menjadi digital,” ujar Teguh.
Hal tersebut, lanjutnya, mendorong pelaku di sector jasa keuangan untuk beradaptasi dalam rangka mempertahankan eksistensinya serta untul mendukung kebutuhan nasabah akan system layanan digital yang efisien, aman, cepat, serta mengedepankan keselamatan diri di tengah situasi saat ini.
Dengan melihat peluang dari adanya perubahan gaya hidup, Teguh menuturkan, intensitas ketergantungan masyarakat akan teknologi yang semakin tinggi serta inovasi teknologi informasi, mendorong banyak sector ekonomi berlomba-lomba untuk memanfaatkan teknologi informasi.
“Industri yang secara massif merespons perubahan tersebut di antaranya industri jasa keuangan. Sektor ini banyak menghasilkan terobosan baru antara lain produk dan layanan perbankan fintech peer to peer lending, dan fintech penyelenggara uang, dan juga dompet elektronik, dan juga terkait dari sisi layanan system pembayaran,” ujarnya.
Ia menambahkan pandemic covid-19 ini juga
telah mendorong pemanfaatan kanal-kanal digital bagi masyarakat dalam melakukan transaksi keuangan melalui
bank. Sejak terjadinya covid-19 pada Maret 2020, frekuensi transasksi kanal mobile
banking maupun internet banking mengalami
peningkatan pesat.
Pada Maret 2020, terdapat peningkatan transaksi mobile banking 67,2 persen secara tahunan (yoy) atau 15 persen dari bulan sebelumnya (mom_ menjadi 267 juta transaksi. Sedangkan transaksi internet banking juga mengalami peningkatan 48,4 persen (mom) atau 11,9 (mom) menjadi 121 juta transaksi.
Pada Agustus, transaksi mobile banking meningkat 54,3 persen (yoy) atau 5,7 persen (mom) menjadi 302,6 juta transaksi dari transaksi internet banking naik 49,3 persen (yoy) atau empat persen (mom) menjadi 135 juta transaksi.
“Hal ini menandakan bahwa transformasi perbankan dari konvensional menjadi digital semakin pesat pascapandemi juga didorong oleh munculnya teknologi terkini yang mulai diadopsi oleh industri jasa keuangan salah satunya teknologi Artificial Intelligence,” pungkas Teguh.
Berita ke-3
Nama media: Merdeka.com
Judul berita: Formappi Menduga Ada Pasal Selundupan di UU Cipta Kerja
Jumlah halaman: Dua
Tanggal cetak: Sabtu, 24 Oktober 2020
Jakarta – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menduga adanya pasal selundupan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Kecurigaan ini muncul lantaran pemerintah mengaku telah menghilangkan pasal yang berkaitan dengan minyak dan gas dari draf RUU Ciptaker yang telah disetujui DPR RI pada Senin, 5 Oktober lalu.
“Saya menduga pasal yang dihapus Setneg itu
mungkin saja bukan buah dari keteledoran berupa kelupaan mencoret ketentuan
yang sudah tak disetujui pada rapat kerja. Bisa jadi pasal ini merupakan ‘pasal
selundupan’,” ujar Lucius.
Dia memandang, pengakuan adanya penghapusan
ketentuan terkait minyak dan gas bumi oleh Kementrian Sekertariat Negara RI
(Kemensetneg) dan DPR RI menjadi bukti bahwa RUU Ciptaker ini kacau balau.
Menurutnya sangat tak layak sebuah RUU yang telah disetujui DPR namun di
dalamnya ada pasal-pasal yang tak disadari keberadannya.
“Pengakuan itu sesungguhnya mengakhiri
semua kecurigaan belakangan ini bahwa upaya revisi yang diakui DPR hanya
terkait hal-hal teknis setelah RUU Ciptaker disahkan pada Rapat Paripurna 5
Oktober lalu,” tegasnya.
“Sehingga kekacauan atau kesalahan itu
harus dipertanggungjawabkan secara hukum dan politik. Secara hukum, saya kira
penegak hukum seperti kepolisian atau kejaksaan bisa menelusuri proses
pembentukkan UU Ciptaker ini untuk membuktikan motif keberadaan pasal yang
dihapus Setneg,” pintanya.
Ditinjau dari sisi politik, dia menilai
pengahpusan pasal tersebut membuktikan bahwa RUU Ciptaker cacat legitmasi.
Adanya kekacauan naskah itu, menurut dia harus mendorong presiden secara
politik untuk menggunakan kewenangannya membatalkan RUU yang telah disetujui
DPR tersebut.
“Presiden bisa memilih menggunakan Perppu
untuk membatalkan UU Ciptaker ini dengan alasan adanya pasal-pasal yang
disetujui DPR dan pemerintah yang belakangan dihapus. Presiden harus menganggap
ini sesuatu yang serius bagi dirinya karena ia bisa dianggap mendesain sebuah
UU yang isinya tak bisa dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Badang
Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas membenarkan soal penghilangan
atau penghapusan pasal terkait minyak dan gas bumi dalam Rancangan
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).
Adapun pasal yang dimaksud dalam RUU Cipta
Kerja tersebut yakni Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi.
“Terkait Pasal 46 yang koreksi itu, itu
benar. Jadi kebetulan Setneg (Sekertariat Negara) yang temukan, jadi seharusnya
memang dihapus,” kata Supratman, Kamis 22 Oktober 2020 kemarin.
Dia menerangkan, pasal tersebut memang
seharusnya sudah tak masuk dalam draf final RUU Cipta Kerja yang diserahkan
oleh pihak Istana, dan sudah disepakati oleh Panja. Namun masih tercantum,
sehingga dihapuskan.
“Saya pastikan setelah berkonsultasi semua ke
kawan-kawan itu benar seharusnya tidak ada. Karena seharusnya dihapus, karena
kembali ke Undang-Undang Eksisting jadi tidak ada Undang-Undang Ciptaker,”
ungkap Supratman.
Dia menjelaskan, awalnya pemerintah memang
ingin mengalihkan kewenangan BPH Migas ke Kementrian ESDM Melalui RUU Cipta
Kerja. Namun, di DPR khususnya di Panja Baleg, usulan itu tak diterima.
“Awalnya itu adalah merupakan ada keinginan
pemerintah untuk usulkan pengalihan kewenangan BPH Migas toll fee (Menentukan
Tarif Pengangkutan Gas Bumi melalui Pipa) dari BPH ke ESDM. Atas dasar itu kami
bahas di Pnaja, tapi diputuskan tidak diterima di Panj. Tetapi dalam naskah
yang tertulis itu yang kami kirim ke Setneg ternyata masih tercantum ayat 1-4,” tukas Supratman.
Berita ke-4
Nama media: Medcom.id
Judul berita: Indonesia Punya Potensi Besar untuk Pembangunan Data Center
Jumlah halaman: Tiga
Tanggal cetak: Sabtu, 24 Oktober 2020 10:11
Jakarta – Asia Tenggara diproyeksikan akan menjadi Kawasan dengan pertumbuhan tercepat di bidang data center, menurut penilitian terbaru dari Digital Realty dan Eco-Bussines.
Sebanyak 89 persen pakar yang disurvei
di kawasan ini memperkirakan penggunan data center akan tumbuh secara
signifikan dalam lima tahum ke depan. Digital Realty, penyedia solusi data
center, colocation dan interkoneksi global dan Eco-Bussines,
mempublikasikan hasil temuan mereka dalam laporan bertajuk The Future of Data
Centers in the Face of Climate Change.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kawasan Asia Tenggara dipimipin oleh Singapura, mengalami pertumbuhan data yang eksponensial. Berbagai perusahaan melakukan ekspansi secara cepat di kawasan ini, sehingga mendorong permintaan terhadap infrasturktur IT yang kuat.
Dalam survei yang dilakukan terhadap lebih dari 200 orang pakar di Singapura, Malaysia, dan Indonesia dari Mei hingga Juli 2020, 96 persen responden mengindikasikan bahwa covid-19 semakin meningkatkan kebutuhan terhadap data dan menegaskan pentingnya teknologi digitas dan data center.
Temuan-temuan sejalan dengan Data Gravity
Index, penelitian yang mempublikasikan baru-baru ini yang mengukur,
mengkuantifikasi dan menentukan implikasi dari ledakan data di
perusahaan-perusahaan.
Data Gravity atau gravitasi data (efek gaya tarik dari kumpulan data besar atau aplikasi/layanan dangat aktif terhadap kumpulan data atau layanan/aplikasi sangat aktif lain, seperti halnya gravitasi yang menarik planet-planet atau bintang-bintang) diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat setiap tahun dari 2020 hingga 2024.
Asia Pasifik diperkirakan akan menghasilkan pertumbuhan tercepat dalam intensitas Data Gravity di antara seluruh kawasan di dunia, dan Singapura diperkirakan akan menjadi pasar dengan pertumbuhan tercepat di antara 21 wilayah metropolitan yang dianalisis.
“Asia Tenggara telah muncul sebagai kawasan yang paling banyak diburu, dengan Singapura menguasai sekitar 60 persen dari total pasokan data center di Kawasan tersebut,” kata Mark Smith, Managing Director, Asia Pacific, Digital Realty.
“Di luar Singapura, Indonesia memiliki daya tarik sebagai destinasi investasi data center di kawasan tersebut karena besarnya pasar domestic yang melek teknologi. Indonesia juga menawarkan potensi yang sangat besar untuk menjadi produsen utama energi terbarukan yang menegaskan kemunculannya sebagai hub data center berkelanjutan.”
Menurut penilitian Digital Realty dan Eco-Bussines, responden menyoroti kurangnya kesadaran menjaga lingkungan (71 persen), kurangnya investasi (65 persen) dan kurangnya kerja sama dari pemangku kepentingan (61 persen) sebagai tantangan utama dalam upaya membuat data center yang lebih berkelanjutan.
Laporan ini menyoroti iklim tropis Asia Tenggara dan berbagai kesenjangan kebijakan sebagai hambatan lain bagi pertumbuhan jangka panjang kawasan ini sebagai pasar data center yang kompetitif dan berkelanjutan, Singapura memiliki hambatan lain, yakni luas areal terbatas, dibandingkan dengan pasar-pasar lain di kawasan tersebut.
“Asia Tenggara adalah menjadi kawasan yang memiliki negara-negara dengan pertumbuham ekonomi tercepat di dunia, dan pertumbuhannya yang pesat akan mengakselerasi permintaan terhadap layanan data,” ujar Jessica Cheam, Managing Director, Eco-Business.
“Dengan latar belakang ini, penyedia data center harus menemukan cara untuk memnuhi kebutuhan tersebut sekaligus memastikan bahwa mereka memainkan peran dalam membantu negara memenuhi target-target iklim mereka.”
Penelitian ini menegaskan bahwa kebutuhan terhadap proses pendinginan (cooling) merupakan 35-40 persen total kebutuhan energi data center. Teknologi dan proses pendinginan yang hemat energi – termasuk pendinginan dengan zat cair – merupakan peluang besar bagi operator data center untuk mengurangi penggunan energi biaya.
Laporan baru ini juga mengidentifikasikan Indonesai dan Malaysia sebagai rising star atau primadona yang berkembang pesat dan diperkirakan akan semakin meningkatkan pangsa data center di kawasan ini.
Kedua negara ini menawarkan kemudahan akses dan biaya masuk yang lebih rendah dibandingkan Singapura. Keduanya juga memiliki basis pelanggan digital dan pelanggan melek teknologi yang berusia muda dan berkembang cepat, yang mendorong pertumbuhan e-commerce dan industry teknologi yang dinamis, serta meningkatkan kebutuhan penyimpanan data.
Indonesia memiliki basis pengguna internet keempat terbesar di dunia dan satu-satunya anggota ASEAN dalam kelompok G20. Dalam hal potensi pertumbuhan berkelanjutan, Indonesia memiliki cadangan energi geotermal (panas bumi) terbesar di dunia serta salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yang bisa mengakomodasi pembangkit listrik tenaga angin dan generator arus pasang surut dalam skala besar.
Tenaga air saat ini merupakan sumber energi terbarukan terbesar di Indonesia, sedangkan energi geotermal, biotermal, surya dan angin diharapkan akan mengalami pertumbuhan eksponensial dalam beberapa tahun ke depan.
Berita ke-5
Nama media: Antara
Judul berita: 2023, Cianjur Krisis Guru Berstatus PNS
Jumlah halaman: Satu
Tanggal cetak: Sabtu, 24 Oktober 2020 20:09
Cianjur – Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupatan Cianjur, Jawa Barat menyatakan hingga saat ini daerah itu masih kekurangan guru berstatus pegawai negri sipil (PNS) mulai dari tingkat SD hingga SMP. Bahkan, diperkirakan pada 2023 Cianjur akan mengalami krisis guru berstatus PNS, diantaranya karena banyak yang pension dan juga meninggal dunia.
Sekertaris Disdik Cianjur, Asep
Saepurohman saat dihubungi mengatakan, dari 16 ribu guru yang mengajar di
tingkat SD dan SMP, hanya 6.000 orang yang berstatus PNS. Sedangkan, sisanya
guru berstatus honorer yang sudah mengabdi lebih dari dua tahun.
“Melihat jumlah guru berstatus PNS dan
honorer lebih banyak karena hingga saat ini belum ada lagi pengangkatan guru
honorer menjadi PNS. Bahkan di sejumlah sekolah negeri ganya ada seorang guru
PNS, tepatnya hanya kepala sekolah saja,” kata Asep dihubungi di Cianjur,
Sabtu, 24 Oktober 2020.
Minimnya guru berstatus PNS tersebut membuat Disdik Cianjur kesulitan untuk melakukan berbagai upaya guna peningkatan mutu Pendidikan. Sebab, jumlah guru PNS yang ada sangat sedikit, sedangkan sarana dan prasarana penunjang mulai dari fisik hingga nonfisik, hingga saat ini sudah memadai.
Namun, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan berstatus PNS yang masih kurang. Terlebih dua tahun ke depan jumlahnya akan terus berkurang seiring tingginya jumlah tenaga pendidikan dan kependidikan yang pension. Sehingga kami berharap ada penambahan guru PNS dari pemerintah pusat, cukup memberikan seleksi administrasi bagi guru yang sudah mengabdi lebih dari dua tahun,” ujarnya.
Ia menjelaskan, hingga saat ini, dari 10
ribu guru honorer yang ada Sebagian besar sudah mengabdi lebih dari dua tahun.
Bahkan, yang terlama sudah mengabdi 21 tahun, namun hingga saat ini belum
mendapat kejelasan kapan akan diangkat menjadi guru PNS.
Idealnya, kata dia, ada satu orang guru PNS untuk satu mata pelajaran di SMP. Lalu, untuk SD seorang guru PNS untuk satu kelas. Saat ini, Sebagian besar jumlah tersebut masih diisi guru berstatus honorer, atau guru PNS merangkap wali kelas sekaligus tenaga pengajar.
“Kami berharap ini menjadi perhatian
pemerintah daerah hingga pusat, sehingga dua tahun yang akan datang tidak
terjadi krisis guru berstatus PNS,” ujarnya.
Komentar
Posting Komentar